Skip to main content

KECANTIKAN

Lowongan Kerja Penjahit (Dibutuhkan segera pemagang untuk Tim Produksi) di BABECOM.

LAGI CARI KERJA? INGIN MENDAPAT POSISI DI SEBUAH PERUSAHAAN? TAPI, BELUM PUNYA PENGALAMAN? Nah, program magang atau internship yang sedang dibuka oleh Babecom di Kota Surabaya ini merupakan wadah yang pas untuk kalian (khususnya yang baru lulus SMK Tata Busana). Berikut kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi pemagang di Babecom. Yakni : - Muslimah - Usia max 25 th - Belum menikah - Pendidikan min SMK (SMK Tata Busana diutamakan) - Mengetahui, memahami dan menguasi pembuatan pola, cutting, pengerjaan detailing (terutama untuk busana pria) - Aktif, Kreatif dan Inovatif - Dapat bekerja sama dengan tim dan target - Bersedia bekerja di kantor S&K akan disampaikan saat wawancara Untuk tahu informasi lebih lanjut, kalian bisa hubungi kontak CP Babecom melalui nomor whatsapp : +62 857 9073 3961 Atau, Bisa juga langsung kirim CV kalian melalui e-mail mereka di  babecom.03.08@gmail.com APPLY BEFORE 10 - 09 - 2022 MAGANG DULU, BARU KERJA  😀

Kami Ingin Kembali Bersekolah


By : Miftachul Janna
E-mail : jannamiftachul@yahoo.co.id
Website : www.miftachuljanna.blogspot.com

LOMBA MENULIS NASIONAL UNTUK REMAJA 2009
Tema: Anak dan Pemimpin Bangsa



S
edari dulu aku ingin sekali mengikuti ajang Tari Daerah entah di tingkat apa saja lah, yang penting aku bisa turut serta di dalamnya. Dan alangkah bahagianya aku, jika keinginanku itu benar-benar terwujud. Karena tarian daerah dari kota kelahiranku itu sudah melekat dari dalam diriku. Entah aku pun tak tahu mengapa? Mungkin itulah yang Tuhan berikan untukku. Setidaknya sebagai salah satu kelebihanku. Namun satu hal yang sempat membuatku tak percaya diri. Yahh karena aku bukanlah seorang remaja yang sempat mengeyam bangku pendidikan hingga usai. Pendidikan terakhirku hanya lah sampai tingkat Menengah Pertama. Maklumlah kedua orang tuaku tak mampu membiayai Sekolah Menengah Atas ku. Karena kebutuhan hidup kami masih banyak yang harus dipenuhi. Belum lagi pendidikan untuk adik-adikku yang masih kecil. Mereka adalah contoh dari sebagaian kecil dari banyak anak-anak lainnya di luar sana yang masih membutuhkan ilmu. Aku memang sempat merasa kecewa dengan keadaanku. Karena setiap aku meminta teman-temanku untuk mengijinkanku ikut saat mereka sedang berlatih tari, mereka bukanlah mengijinkanku. Melainkan mereka mengejekku. Mencemoohku. Mencaciku. “Kamu itu bukan anak sekolahan seperti kami. Jadi untuk apa kamu ikut-ikutan latihan tari? Toh, kamu gak bakalan bisa ngembangin bakat tari kamu itu. Karena kamu sudah putus sekolah. Hahaha…” begitulah yang mereka ucapkan padaku. Tangis dan eluh di pipiku terus membanjiri diriku. Rasa putus asa sempat menghantui diriku… Namun aku sadar bahwa aku harus membuktikan pada mereka semua bahwa aku bisa. Bisa meraih cita dan anganku…
Menghabiskan hariku di jalanan adalah kegiatanku seusai aku putus sekolah. Melawan kerasnya hidup. Bergaul dengan debu dan polusi. Menyanyi di setiap lampu-lampu lalu lintas pun, aku jalani. Hanya demi keinginanku untuk bersekolah kembali.
Di sana aku tak begitu merasakan kepedihanku dibanding jika aku terus-menerus berdiam diri mengamati sekolah-sekolahan yang tak jauh dari lokasi rumahku. Mengamati mereka-mereka yang kurang lebih seumuran denganku, yang merasakan kebahagiaan saat mereka tertawa dan bercanda ria bersama teman-temannya. Mendapat ilmu dan pendidikan saat mereka bersekolah. Namun kehidupan kerasku sebagai anak jalanan tak begitu menyorotkan kepercayaan diriku. Karena di sana masih banyak remaja-remaja yang juga merasakan hal yang sama denganku. Putus sekolah. Yahh mereka pun menjadi teman-temanku. Menggantikan teman-teman yang seharusnya aku dapatkan di sekolah.
Penghasilanku dari hasil mengamen belumlah cukup untuk membayar sekolah. Aku pun terus bersabar. Menunggu keajaiban. Uang-uang hasil mengamen ku itu terus aku tabung. Hingga akhirnya aku dapat tersenyum kecil. Tersenyum kecil, saat ku hitung berapa banyak uang yang aku kumpulkan itu. “Alhamdulillah hasilnya lumayan banyak.” itulah rasa syukur yang aku ucapkan. Lamunanku akan sekolahan yang aku idam-idamkan pun terbesit dalam benakku. Tak lama kemudian seorang wanita di belakang sana memecahkan lamunanku itu. Yahh aku tahu betul siapa dia. Dia ibuku. Ibu yang terus berjuang untuk membantu bapakku dalam bekerja. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Ibupun menyampaikan suatu hal kepada ku. Dan aku pun terkejut saat ibu bilang bahwa adik terkecilku sedang demam tinggi. Tanpa banyak bicara, ku gendong adik kecilku itu dalam pelukan dan dekapku. Dan segera ku ambil uang tabunganku itu. Ku bawa adikku dengan cepat menuju puskesmas terdekat.
“Adik anda positif deman berdarah…” ujar seorang dokter yang baru saja selesai memeriksa adikku.
“Demam berdarah?” aku terkejut. Adikku pun terpaksa harus di rawat inap untuk beberapa hari ini.
* * *
Aku pun harus mulai dari awal untuk menabung uang demi sekolahku. Yahh aku harus tetap bersabar. Tohh uang yang kemarin kan digunakan untuk biaya berobat adikku sendiri. Bukan adik orang lain. Tohh kaupun iya, aku akan tetap melakukan hal yang sama kepadanya selama aku mampu.
Sepulang dari puskesmas, aku kembali melawan panasnya terik matahari yang menyengat. Mengamen di tengah lalu lalang keramaian kota. Dan melawan kerasnya hidup di jalanan, demi untuk kembali bersekolah pun aku jalani. Tiba-tiba…
“Brrraaaaakkkk…” di tabraknya salah seorang temanku oleh seorang pengendara mobil mewah yang saat itu sedang meluncurkan mobilnya cepat.
“Kamu gak apa kan?” tanyaku sembari ku bantu dia berdiri
“Rumahku…” ucapnya lirih
“Rumahmu kenapa?” tanyaku heran
“Rumahku hari ini akan digusur.”
“Appppaaaaa? Digusur?” aku terkejut
“Aku harus pulang sekarang.” Pintanya sembari memegangi kepalanya yang aku tahu saat itu kesakitan, karena terbentur aspal jalanan akibat pelaku tabrak lari yang tak bertanggung jawab itu.
“Aku antar yah…”
S
esampainya di sebuah perkampungan kecil yang kumuh, tangisnya semakin merebak. Ku lihat di sana, sudah tak ada lagi bangunan yang tua reot yang masih berdiri tegak. Semuanya runtuh. Runtuh tak ada satupun tanpa terkecuali. Aku turut bersedih akan hal itu. Tangisku pun mulai jatuh. Apa lagi saat ku lihat wajah-wajah banyak anak kecil di sana yang menangis dan merengek tak tahu apa yang terjadi dengan keadaan mereka sebenarnya. Ku dengar tangis wanita-wanita tua renta di sana sembari menggendong cucunya yang sedang menagis heboh. Ku pandangi pula para lelaki tua dengan badan renta yang seolah sudah tak mampu lagi menopang tubuhnya tersungkur di hadapan mereka-mereka yang tega menghancurkan tempat tinggal mereka. Yahh sebuah rumah yang menjadi harapan mereka untuk berlindung dari panasnya matahari dan dinginnya malam di saat hujan turun. Betapa teganya mereka merenggut sedikit kebahagiaan yang mereka-mereka punya dengan hidup yang serba kekurangan itu. Tak ada materi yang ku bisa bantu untuk mereka. Melainkan hanya sebuah perasaan yang turut iba dengan kejadian yang mereka alami. Aku pun perlahan melangkahkan kaki meninggalkan mereka. Di dalam perjalanan pulang yang aku ingat hanyalah betapa baiknya Tuhan kepada ku, karena aku dan keluargaku masih di berikan sebuah rumah untuk tempat tinggal kami. Walaupun sederhana, tapi setidaknya kita masih bisa merasakan kebahagiaan di dalamnya.
Keesokan harinya, aku kembali bertaruh nyawa di keramaian kota yang padat itu. Tidak ku temui beberapa orang temanku yang kemarin rumahnya digusur. Ku hentikan pekerjaanku itu. Dan sesegera mungkin ku menuju tempat mereka berada sekarang. Yahh kolong jembatan. Itulah harapan mereka untuk berteduh malam itu. Bahkan mungkin untuk malam-malam berikutnya. Ku pandangi pekat keceriaan adik-adik kecilku di sana. Yang sedang bermain dengan cerianya. Ataupun yang sedang belajar dengan keadaan seadanya di sana. Mereka. Mereka adalah nyawa-nyawa kecil yang masih belum berdosa. Yang ada di dalam pikir mereka hanyalah bermain di waktu itu. Namun berbeda dengan yang ada di dalam pikir bapak dan ibu mereka. Keduanya sedang merasakan banyak kebingungan akan kehidupan mendatang yang akan terjadi pada mereka. Tak pernah mereka mau untuk membayangkan akan kehidupan anak-anak mereka yang terus-terusan hidup beralas bumi dan beratap langit ini di kemudian hari. Melainkan mereka menginginkan kehidupan yang lebih layak di kemudian hari dari pada kehidupan yang mereka jalani sekarang.
M
emang aku belum bisa menyumbangkan materi untuk mereka. Namun bukan berarti aku juga tak bisa menyumbangkan jasaku. Dengan perasaan dan hati yang ikhlas, ku ajari mereka mengenai bagaimana cara membaca ke dua puluh enam huruf yang akan setiap hari kita ucapkan dengan rangkaian huruf-hurufnya yang akan menjadi kata-kata bahkan kalimat-kalimat yang akan kita dengar dengan indah dari bibir kita saat belajar berbahasa. Rangkaian angka-angka dengan penjumlahan, pengurangan, perkalian, bahkan pembagian yang akan terus dapat mereka gunakan sehari-harinya agar tak dapat di bohongi oleh orang lain saat kita menghitung. Yahh tak hanya itu yang aku ajarkan pada mereka. Melainkan kemampuan dan bakat ku dalam menari. Ku lengkukkan tubuh-tubuhku dengan lemah gemulai. Mereka memperhatikanku dengan begitu perhatiannya. Tak hanya itu saja. Melainkan juga ku kenalkan dari mana-mana saja tarian daerah itu berasal. Seperti salah satu tarian yang sedang aku peragakan saat itu.Yaitu suatu tarian yang berasal dari Surabaya, yang kerap di sebut dengan nama Tari Remo.
“Tarian ini biasanya digunakan sebagai lambang kepahlawanan dan dan biasanya tarian ini juga tarikan pada waktu penyambutan tamu.”  begitulah ujarku panjang lebar. Senyum dan pandangan yang sangat antusias dari merekapun membuatku lebih semangat untuk memperagakan tarian daerah lainnya. Yahh seperti Tari Kecak Bali yang berkembang di sebuah propinsi dengan mayoritas penduduknya yang beragama Hindu ini.
“Tari Kecak Bali merupakan suatu tarian berdasarkan cerita dari kitab Ramayana yang di dalam ceritanya mengisahkan tentang bala tentara monyet dari…” berhenti ku sejenak. “Ayo siapa yang tahu dari mana?”
“Dari Hanuman dan Sugriwo…” ujar salah seorang anak di sana lantang dengan percaya dirinya.
“Yeee… Pintar…” pujiku
Semuapun tertawa bahagia. Tersenyum bertepuk tangan. Seolah sejenak meninggalkan rasa sedihnya kemarin.
Masih banyak tarian-tarian daerah lainnya yang aku peragakan di sana. Aku bahagia. Tak hanya karena melihat mereka bahagia. Melainkan aku kembali bisa mengeluarkan bakat ku di sana. Walaupun bukan di sebuah sekolah yang berdiri tegak dengan bangunannya. Namun kami pun bahagia walaupun hanya dengan sekolah kecil-kecilan yang sederhana di bawah kolong jembatan itu. Tapi aku tahu betul bahwa mereka juga menginginkan untuk bersekolah di sekolah yang sama dengan mereka-mereka yang jauh lebih beruntung dari kami. Kami juga memiliki hak-hak yang sama dengan mereka untuk mengeyam pendidikan hingga usai. Pertanyaan itu pun mulai kembali dalam benakku. “Kapan kami bisa kembali bersekolah?”
“Kami ingin kembali bersekolah…” ujar kami serentak
* * *


Comments

Popular posts from this blog

Memperingati Hari Ibu : Sayang Bunda Padaku

By : Miftachul Janna E-mail : jannamiftachul@yahoo.co.id Website : www.miftachuljanna.blogspot.com             “Bunda, bisa jemput aku di sekolah sekarang?” pintaku melalui telepon genggam milikku itu.             “Iya, sayang... Memang kamu sudah pulang? Ini kan baru jam berapa?” kutenggok jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Pukul sepuluh pagi lebih lima menit. Waktu yang masih pagi. Baru terpikir dalam benakku, pasti bunda khawatir ada apa denganku karena tak seperti biasanya aku pulang pagi seperti ini. Bunda yang mengangkat telepon di sebrang sana segera mengiyakan. Dan aku tau betul jika bunda segera meluncur ke sekolah untuk menjemputku.

Kutulis Untuk Ayah

By : Miftachul Janna E-mail : jannamiftachul@yahoo.co.id Website : www.miftachuljanna.blogspot.com             Banyak hal di dunia ini yang tidak kita mengerti. Begitu pula banyak hal yang tidak kita ketahui. Dan aku juga tidak tau mengapa aku dilahirkan dari seorang ibu yang bersuami seperti ayahku. Ayah yang menurutku selama ini mengacuhkan aku sebagai anaknya. Entah benar atau salahkah aku berkata seperti ini? Karena terkadang ibu yang sabar juga marah terhadap sikap ayah. Ibu adalah sosok ibu yang tidak pernah pantang menyerah. Sosok seorang wanita yang tegar bagiku. Karena dia mampu menghadapi ayahku yang notabene-nya seorang pemarah dan temprament, ibu tidak pernah berkata padaku untuk membenci ayah. Begitupula aku, tidak pernah berniat untuk membenci ayah. Karena bagiku baaimanapun dia, dia tetaplah ayahku.             Namun banyak hal di dunia ini yang tidak aku dapati penjelasannya. Mengenai mengapa ayahku mengacuhkanku? Sedari dulu,

Ketika Teknologi Digital Menghampiriku

By : Miftachul Janna E-mail : jannamiftachul@yahoo.co.id Website : www.miftachuljanna.blogspot.com Presented  by NGAWUR , Powered by Pusat Teknologi http://ngawur.org http://pusatteknologi.com http://bloggernusantara.com Ketika Teknologi Digital Menghampiriku Hmm. Mulai dari mana ya aku ngomongnya. Hehe. Mulai dari ketika Teknologi Digital menghampiriku aja deh. Teknologi Digital sudah tak bisa dipungkiri keberadaannya sekarang. Apalagi di kalangan remaja seperti aku ini. Teknologi digital pada dasarnya dibedakan menjadi 2 (dua) dari segi penggunaannya, yakni : a.        Segi Negatif Ketika alat-alat elektronik jatuh ke tangan manusia, alat-alat tersebut disalah gunakan. Mulai dari handphone yang untuk media porno. Televisi demikian pula. DVD demikian pula. Hmm. (banyak banget kayaknya kalau di ucapin satu-satu, hehe) Laptop, notebook, komputer untuk menghack situs seseorang maybe. Atau untuk menjelek-jelekan seseorang, komun