LAGI CARI KERJA? INGIN MENDAPAT POSISI DI SEBUAH PERUSAHAAN? TAPI, BELUM PUNYA PENGALAMAN? Nah, program magang atau internship yang sedang dibuka oleh Babecom di Kota Surabaya ini merupakan wadah yang pas untuk kalian (khususnya yang baru lulus SMK Tata Busana). Berikut kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi pemagang di Babecom. Yakni : - Muslimah - Usia max 25 th - Belum menikah - Pendidikan min SMK (SMK Tata Busana diutamakan) - Mengetahui, memahami dan menguasi pembuatan pola, cutting, pengerjaan detailing (terutama untuk busana pria) - Aktif, Kreatif dan Inovatif - Dapat bekerja sama dengan tim dan target - Bersedia bekerja di kantor S&K akan disampaikan saat wawancara Untuk tahu informasi lebih lanjut, kalian bisa hubungi kontak CP Babecom melalui nomor whatsapp : +62 857 9073 3961 Atau, Bisa juga langsung kirim CV kalian melalui e-mail mereka di babecom.03.08@gmail.com APPLY BEFORE 10 - 09 - 2022 MAGANG DULU, BARU KERJA 😀
By : Miftachul Janna
E-mail : jannamiftachul@yahoo.co.id
Website : www.miftachuljanna.blogspot.com
E-mail : jannamiftachul@yahoo.co.id
Website : www.miftachuljanna.blogspot.com
i bawah terik matahari, aku menyaksikan sahabatku Cicia bergegas mengantarkan seorang cowok disampingnya ke rumah sakit. Yang jelas aku tahu siapa dia. Dia Beni. Aku lihat dirinya yang mengeluh kesakitan. Sesampainya di sana , dokter bilang bahwa Beni harus segera mendapat donor sum-sum untuknya. Tetes air matapun membasahi pipi Cicia. Bukan hanya dia saja, tapi aku juga. Tanpa sepengetahuan Cicia, aku segera meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan sum-sum milikku. Hasil pemeriksaan tidak bisa dilihat hari ini juga. Keesokan harinya aku datang kembali. Dokter bilang hasil pemeriksaan sum-sum kami tidak cocok dengan sum-sum milik Beni . Kami?? Iya, aku dan Cicia… Ternyata kemarin setelah aku pergi, Cicia juga memeriksakan sum-sumnya. “Tapi…” bibir dokter itu bergerak kembali. Dia bilang sum-sum seseorang lagi cocok dengan sum-sum Beni . Aku bertanya, “Sum-sum milik siapa??” dokter itu tak tahan meratap kedua bola mataku yang mulai berkaca-kaca. Dia segera mengantarku ke sebuah ruangan dimana pendonor itu sudah siap untuk dioperasi. “Hiiikkkkssszzz. . .” aku berusaha menahan air mataku. Tapi tak bisa. Aku menangis. Sungguh aku tak rela dia mendonorkan sum-sumnya untuk Beni . Dia Eddo. Eddo menghapus air mataku. Dia berusaha menghentikan isak tangisku. Isak tangis yang semakin keras, saat aku ingat siapa Eddo sebenarnya. Tanpa aku tanyakan pun, aku tahu apa jawabannya nanti… Dia akan menjawab, “Ini semua untuk Cicia…” yahh itu jawabannya. Aku tak pernah mengerti mengapa dia sungguh rela melakukan ini. Melakukannya untuk seorang gadis yang menurutku selalu membuat hatinya terluka. Cicia yang jelas-jelas menolaknya mentah-mentah. Tapi Eddo, dia selalu berkata padaku, “Beni dan Cicia penting bagiku. Beni sahabatku. Cicia orang yang aku cinta…” jelasnya. Aku selalu berusaha menyadarkannya. Berkali-kali aku bilang, “Cicia gak suka ama loe.. Seharusnya loe sadar, cicia gak pantas loe harapin… Terus Beni, dia sahabat loe. Apa loe rela sahabat loe sendiri jadian ama orang yang loe suka??” aku tak habis pikir. “Kalo emang Cicia lebih milih Beni , gak apa… Toh, Dia milik Sahabatku. Bukan milik orang lain.” jawabnya. Aku bertanya kembali, “Kenapa musti loe yang ngedonorin sum-sum loe buat Beni??” suasana sunyi sejenak sebelum dia menjawab kembali, “Beni sahabatku…” jelasnya. Aku tak bisa memaksakan kehendakku. Kehendakku untuk mengubah keputusannya. Keputusannya untuk menukar nyawa dengan sahabatnya. Saat ini yang hanya bisa aku perbuat hanyalah mendukungnya. Menyemangati hidupnya yang mungkin gak akan lama lagi. Aku bahagia. Aku pun sedih. Sewaktu aku melihat Eddo. Tapi aku marah. Aku benci. Saat aku melihat Cicia sahabatku tega melukai hati seseorang yang benar-benar… Entahlah, aku tak sanggup berkomentar apa lagi mengenai ini semua. Aku capek. Aku lelah…
H |
ingga hari operasi ditentukan. Aku masih menjalankan amanat Eddo untuk tidak berkata sebenarnya pada Cicia. Aku terus menunggui operasi Eddo entah berapa jam lamanya, namun tak terasa untukku. Hati ini gundah gulana mengguinya. Tapi hatiku masih penuh dengan amarah jika mungkin pada saatnya Cicia tahu ini semua, dan dia tetap membenci Eddo tanpa alasan. Aku akan sangat marah. Marah besar padanya. Dia gak pernah sedikitpun menghargai Eddo, itulah yang menyebabkan kemarahanku yang berlarut padanya. Ruang operasipun akhirnya ada kehidupan. Dibukanya pintu itu oleh seorang dokter. Dia hanya berkata padaku, “Operasinya berjalan lancar…” dokter itu menunduk sejenak. Dokter itu membuatku bertanya. Seakan dia menghancurkan rasa syukurku. Tatapan matanya membuatku semakin khawatir. “Tapi pendonor itu sepertinya masih sulit menerima kenyataan ini…” dia menggeleng. “Maksudnya??” aku mencengkram keras tangan dokter itu. “Keadaannya kritis.” singkatnya. “Hhhhhhhh……” kakiku lemas. Tubuhku lemah. Seakan aku ikut dalam rasa sakitnya. Bergegas aku berlari menghampirinya. Aku peluk tubuhnya yang erat. Setidaknya dia bisa membayangkan aku ini Cicia. “Ssssttttttt……” dia menutup mulutku yang ingin berkata. “Gue kuat kok. Loe gak perlu khawatir.” ujarnya. Aku mengganguk mengiyakan. Padahal hatiku berkata, “Loe BOHOOONGGG Do. Loe kesakitan Do. Kini tak hanya hati loe yang sakit. Tapi raga loe juga…” sudahlah, aku harus berusaha kuat. Sekuat dan setegar Eddo. Ku buka senyumku lebar. Eddo menyaksikannnya. Dia tersenyum. Aku bahagia.
S |
eminggu kemudian, aku menjenguk Eddo seperti hari-hari biasanya. Baru ku buka pintu kamarnya. Dikejutkanku oleh seseorang di sana . Aku lihat dia Beni . Apakah dia sudah tahu sebenarnya?? “Eddo, loe musti bertahan Do…” aku berlari menghampiri mereka saat aku dengar perkataan Beni baru saja. “Eddo loe gak apa kan ??” tanyaku. “Gue gak apa kok…” jawabnya perlahan. “BOHOOONNGG Do, loe bohong besar!!! Loe lihat wajah loe. Pucat pasi Do.” aku berusaha menyangkal. Dia menggeleng, “Gue bangga sama loe. Loe juga rela Cicia sahabat loe bersama orang yang loe cinta. Loe juga sama kan sama gue?? Makanya loe gak boleh marah dengan kenyataan ini…” pesannya. “Beda Do. Beda. Aku gak ngelakuin hal yang seberat yang loe lakuin.” Tak bisa dipungkiri, jika aku menangis. “Dia milik Sahabatku…” ujarnya. “Yahh Dia milik Sahabatku…” lanjutku.
“Brrraaaakkkk…” seseorang mendobrak pintu itu. Aku lihat Cicia. Dia sudah tahu. Dia menangis di hadapan Eddo untuk pertama dan terakhir kalinya. Eddo tersenyum. Lalu menutup mata. “Percuma… Percuma loe lakuin ini.” marahku. “Maafin gue…” dia menggeleng seakan ikut bersalah. “Loe lihat, Eddo udah gak ada…” aku merebut wajahnya yang berpaling dari Eddo. “Senyum itu. Senyum pertama dan terakhir yang pernah loe lihat dari Eddo kan ?? Loe masih belum bisa ngehilangin rasa benci loe yang gak beralasan itu??” perkataanku begitu jelas di telinganya, tapi bukan di hatinya. Dia menggeleng tidak.
“BODDDOOOHHH…” kali ini Beni yang marah padanya.
“Ben…” Cicia memengang tangannya.
“Loe bodoh Ci. Seharusnya loe gak pernah pilih gue. Gak pernah.” ujar Beni sebelum melayangkan pisau buah itu tepat di jantung Cicia. “CRRRAAAPPP……” darah bercucuran cepat.
“Beni loe gila. GILLLAAAAA……” aku tak habis pikir. Beni melepaskan pisau itu dari genggamannya. “Cicia orang yang loe sayang. BULLLSYYYIIIITT loe bunuh dia pake tangan loe sendiri.”
“Gara-gara Cicia, Eddo mati… Eddo mati demi kehidupan gue. Eddo boleh rela gue hidup dengan Cicia. Tapi gue, gue gak rela Eddo menukar nyawanya dengan gue hanya demi Cicia. Ini gak adil buat Eddo. Seharusnya gue yang lebih menderita darinya. Bukan malah Eddo. Ini gak adil… Gue bisa melepas Cicia buat Eddo. Dia milik Sahabatku. Tak pantas menjadi milikku. Ini gak adil…” itu kata-kata yang akan terakhir kalinya aku dengar dari Beni . Karena saat itu aku tancapkan pisau yang sama, tepat di jantung Beni juga. Mungkin ini yang yang aku perbuat, agar semuanya adil. Aku membunuh Beni , orang yang aku cinta sama dengan Cicia dengan tanganku sendiri. Mungkin dengan ini tak ada lagi yang meributkan ‘Siapa milik Sahabat Siapa’… Karena setelah kejadian itu, aku akan mendekam di penjara. Entah berapa lama???????
salam mbak,
ReplyDeletedia milik sahabatnya keren mbak
salam Bewe ya
Mr Nyariadi : thanks a lot :)
ReplyDelete